Pemikiran Plato dan Aristoteles tentang Negara, Kekuasaan dan Hukum

Plato lahir pada tahun 429 Sebelum Masehi (SM) dan meninggal dunia pada tahun 347 SM. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, Plato adalah murid dari Socrates yang sangat dipengaruhi oleh pemikirannya. Dalam Republik (Politeia) Plato sangat menjelaskan secara mendetail bagaimana pemikiran dari Socrates. Plato memandang hal yang paling penting dalam kehidupan manusia adalah keadilan. Politeia memberikan gambaran kepada kita bagaimana seharusnya negara bertindak.

Menurut Ernest Baker, Politeia membicarakan empat hal besar: pertama, mengenai metafisika, yang mencari dan membicarakan apa sebenarnya hakekat segala yang ada ini; kedua, mengenai etika, yaitu tentang sikap yang benar dan baik, dan sebaliknya; ketiga, mengenai pendidikan yang harus dijalani seseorang dalam hidup ini, dan akhirnya mengenai pemerintahan yang seharusnya, yang ideal.

Keempat hal tersebut menunjukkan keterkaitan pemikiran Plato dalam melihat negara. Terutama poin keempat yang memastikan bagaimana negara yang seharusnya. Menurut Plato, keadilan merupakan sesuatu yang harus ada dalam negara. Segala sesuatu yang dilakukan oleh negara harus bertujuan untuk mencapai kebajikan. Kebajikan hanya akan terwujud hanya ketika manusia berpengetahuan. Pengetahuan adalah suatu kebajikan. Pengetahuan akan membawa kebajikan kepada manusia. Melalui pengetahuan seseorang dapat mengetahui hal yang baik maupun buruk. Dengan demikian orang tersebut dapat melihat kebajikan melalui pengetahuan yang dimilikinya.

Plato menganggap pendidikan akan menciptakan manusia yang berpengetahuan. Pendidikan tidak hanya sebagai tempat mempelajari sesuatu, tetapi melalui pendidikan akan melahirkan manusia yang dapat berpikir. Plato menghendaki seorang pemimpin yang baik adalah seorang The Philosopher King (Seorang Raja Filsuf). Seorang Raja Filsuf memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh rakyatnya. Raja Filsuf dapat memutuskan apa yang baik bagi rakyatnya. Hanya melalui Raja Filsuf kebajikan akan diperoleh. Plato menganalogikan seorang Raja filsuf sebagai seorang dokter. Raja filsuf harus memahami berbagai gejala penyakit masyarakat, mendeteksinya sejak dini, mampu melakukan diagnosa, dan mencari cara bagaimana menyembuhkan penyakit itu.

Kondisi suasana perebutan kekuasaan yang terjadi pada saat zaman Yunani Kuno sangat mempengaruhi pandangan Plato dalam melihat bentuk kekuasaan yang ideal. Dari pandangannya mengenai pentingnya seorang raja filsuf dalam suatu negara menunjukkan keberpihakan Plato pada sistem politik yang bersifat monarki dibawah kuasa satu orang. Raja filsuf dianggap sebagai seseorang yang dapat menjaga agar suatu negara dapat bertahan.

Pada sejarahnya, Plato mempelajari bentuk kekuasaan yang ideal pada saat terjadi perebutan kepemimpinan di Yunani kuno antara dua negara utama, Sparta dan Athena. Hal ini terjadi pada Perang Peloponnesos (431-404) yang pada akhirnya memenangkan Sparta. Plato melihat kekalahan Athena tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal yang disebabkan ketangguhan pasukan Sparta, namun disebabkan faktor internal lemahnya pasukan Athena. Bentuk kekuasaan Aristokratis Militeristis yang diterapkan Sparta menjadikannya lebih unggul dalam mempersatukan negara dibandingkan dengan kekuasaan demokratis Athena.

“Demokrasi karena bertanggung jawab atas kelemahan keadaan kota Athena dan oleh karena itu ia menyerangnya, berpikir bahwa suatu bentuk pemerintahan yang otoriter akan bisa menjamin stabilitas”.

Menurut Plato demokrasi hanya akan menimbulkan kekacauan sosial. Hal ini diperoleh sebagai hasil dari kebebasan yang diperoleh setiap orang. Kebebasan untuk mengkritik siapapun termasuk penguasa. Kondisi seperti ini akan sulit dikontrol ketika orang saling mengabaikan hak orang lainnya yg juga memiliki hak yang sama untuk mengkritik. Jika melihat lebih dalam, hal ini bukannya akan memperkuat negara tersebut, tapi menghasilkan perdebatan yang tidak terelakkan dari internal negara tersebut. Hal ini yang terjadi pada Athena ketika terjadi perebutan kekuasaan Yunani kuno.

Dalam istilah Plato, demokrasi itu, “penuh sesak dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara dan setiap orang dapat berbuat sekehendak hatinya.” Hal ini menunjukkan secara jelas ketidakberpihakan Plato pada demokrasi. Demokrasi menurutnya pada akhirnya hanya akan melahirkan pemerintahan tirani. Sehingga dalam hal kekuasaan Plato menganggap yang terbaik adalah sistem monarki.

Pada konteks hukum, Plato memandang setiap orang memiliki hak yang sama di depan hukum. Hal ini dijelaskan Plato pada bukunya yang berjudul Nomoi. Jika pada Politeia dia membagi kelas-kelas kepada Penguasa, Pembantu Penguasa dan Pekerja, yang memiliki hak yang berbeda. Namun pada Nomoi Plato menempatkan pengusaha (pembantu penguasa) tidak diatas hukum, melainkan sebagai penjaga hukum. Pandangan Plato terkait tidak adanya hak atas milik menjadi berbeda pada Nomoi.

Menurut Plato, hukum adalah sesuatu  yang mengatur segala sendi kehidupan manusia termasuk moral. Plato tetap melihat kebajikan sebagai tujuan dari negara. Moral menduduki posisi tertinggi dalam hukum. Dengan kata lain, pemberlakuan hukum harus berdasarkan moral yang menjadi pegangan kehidupan manusia agar memperoleh keadilan.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Aristoteles merupakan murid dari Plato. Aristoteles lahir di Macedonia dan hidup pada masa 384 SM hingga 322 SM. Di awal masa menuju dewasanya dia pergi ke Athena dan belajar bersama Plato. Aristoteles tumbuh sebagai manusia yang tidak memiliki batasan dalam hal minat dan pengetahuan. Pengetahuannya selalu terjewantahkan kedalam bentuk-bentuk tulisan. Jika Plato memiliki buku Politeia sebagai mahakaryanya, Aristoteles memiliki karya yang diberi nama Politik (Politica).

Aristoteles memiliki pandangan yang berbeda dengan Plato dalam memahami hakikat negara. Dia berpendapat bahwa manusia adalah makhluk politik (zoon Politikon), makhluk sosial. Zoon politikon diartikan sebagai manusia tidak dapat hidup tanpa bergantung dengan manusia lainnya. Manusia akan saling membutuhkan satu sama lain di dalam sebuah masyarakat. Dalam konsep inilah Aristoteles menganggap negara sebagai sebuah hasil hubungan dari bagian-bagian yang ada dari yang terkecil yaitu, individu, hingga yang terbesar yaitu kampung. Setiap individu pada hakikatnya menghendaki kawan dalam hidupnya.

Selanjutnya dalam melihat ketergantungan yang saling mengikat antara sesama manusia ini yang mendorong terbentuknya suatu negara. Negara lahir atas dasar kebutuhan warga negaranya. Dalam hal yang lebih sederhana bahkan Aristoteles menganalogikan negara sebagai sebuah tubuh manusia yang terdiri atas organ (individu) yang saling bergantung. Gabungan dari berbagai kelompok individu ini yang kemudian menjadi negara.

Menurut Aristoteles, negara adalah lembaga politik yang paling berdaulat, meski bukan berarti negara tidak memiliki batasan kekuasaan. Kekuasaan tertinggi terbentuk karena tujuan yang dimilikinya adalah untuk mensejahterakan seluruh warga negara, bukan individu-individu tertentu (seperti Plato).[7] Tujuan negara ini memberikan gambaran bahwa negara ada untuk memberikan kebahagiaan bagi seluruh warganya. Negara lahir untuk menjamin kebaikan bagi rakyatnya. Dengan kata lain, baagi Aristoteles, dia menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Dalam melihat pandangan Aristoteles terhadap kekuasaan, dia mengklasifikasikan dalam hal siapa yang selayaknya memegang kekuasaan dan jenis kekuasaan. Dalam konteks siapa yang layak berkuasa, Aristoteles berbeda dengan Plato yang membatasi hak atas kepemilikan. Sementara Aristoteles membenarkan bahwa setiap manusia berhak atas kepemilikan harta dan barang. Dalam hal ini Aristoteles menganggap hak kepemilikan berkaitan dengan kebahagiaan. Sebagai tujuan negara yang mengedepankan kebahagiaan rakyatnya, maka negara tidak melarang bagi manusia untuk memiliki sumber harta.

Namun yang perlu digarisbawahi adalah Aristoteles tidak pernah membenarkan untuk seseorang menumpuk kekayaannya. Milik baginya adalah alat; alat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan alat supaya ada kesenggangan waktu untuk mencurahkan perhatian kepada masalah masyarakat. Sebagai alat ia dipergunakan, tetapi tidaklah alat yang menjadi tujuan.[8] Dari segi kepemilikan ini, Aristoteles membagikan masyarakat menurut kelompok kekayaannya yang akan berimbas pada konstitusi ideal. Menurut Aristoteles, kemiskinan akan mengurangi perhatian seseorang untuk melihat pada persoalan-persoalan masyarakat. Sedangkan kekayaan yang berlebih akan berimbas pada seseorang melupakan persoalan-persoalan sekitarnya. Keduanya akan memiliki keterbatasan waktu untuk mengurusi persoalan yang menyangkut kehidupan bermasyarakat. Namun, terdapat kelompok menengah dalam jumlah besar yang memiliki harta secukupnya namun tidak miskin, kelompok ini yang menurut Aristoteles sebagai kelompok yang tepat memegang kekuasaan.

Berdasarkan hal ini Aristoteles membagi kekuasaan berdasarkan jumlah orang yang memegang kekuasaan. Bentuk negara yang benar menurutnya yaitu Monarki, Aristokrasi, dan Politea (Negara Konstitusional), sedangkan deviasi negara yang benar yaitu Tirani, Oligarki, dan Demokrasi. Pada pendapatnya yang paling ideal bagi Aristoteles adalah monarki, karena diperintah oleh seorang raja filsuf yang dapat berkuasa untuk kepentingan rakyat. Namun pada kenyataannya monarki dengan raja filsufnya seakan menjadi hal yang tidak pernah ada dalam masyarakat. Sehingga dia lebih melihat bahwa aristokrasi lebih realistis untuk diterapkan pada suatu negara. Ketiga bentuk kekuasaan yang dijabarkan Aristoteles, baginya yang paling memungkinkan untuk diterapkan dalam realitas adalah politea atau demokrasi. Walaupun demikian, dia mensyaratkan dengan tegas bahwa penerapan demokrasi harus berdasarkan hukum.

“Karena dalam demokrasi yang berdasarkan hukum, warga negara mendapat tempat istimewa, dan disana tidak ada demagog. Tetapi dimana hukum tidak berkuasa, disana demagog muncul.

Hukum mendapatkan tempat yang tertinggi dalam pemikiran Aristoteles. Hanya hukum yang dianggap mampu mengawal semua bentuk kekuasaan yang diterapkan. Pernyataan di atas menggambarkan dengan jelas bagaimana kedudukan hukum pada sebuah sistem politik demokrasi. Menurut Aristoteles, apapun bentuk kekuasaan yang diterapkan apakah itu demokrasi maupun oligarki, ketika hukum dijadikan sebagai panduan dalam pengambilan keputusan yang patuh terhadap hukum, maka kebajikan akan ada dalam negara tersebut.

Dalam tujuan negara menurut Aristoteles adalah ketika kebajikan dapat dirasakan oleh rakyat. Kebajikan hanya akan terpenuhi ketika keadilan diberlakukan dengan benar. Seorang penguasa akan dikatakan adil jika hukum ditegakkan. Keadilan adalah sesuatu yang berkaitan dengan moral.

Aristoteles tidak mengartikan keadilan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan persamaan. Dia lebih mengedepankan persamaan hak setiap orang pada ukuran keseimbangan bukan pada persamaan mutlak (jumlah). Keadilan adalah ketika seseorang merasakan hak yang sama dengan orang lain, dia tidak mengambil sesuatu yang bukan merupakan haknya untuk menjadi miliknya. Yang paling penting adalah dia menganggap hukum harus adil dan seimbang, bahkan pada masanya Aristoteles menganggap kedudukan adalah sesuatu yang bisa dirasakan oleh setiap warga negara yang dapat menjalankannya dengan adil.

Aristoteles melihat keadilan dari sudut hak, sedangkan Plato memandangnya dari sudut kewajiban. Ini merupakan perbedaan yang jelas ketika keadilan merupakan hak maka dibutuhkan hukum yang tegas agar hak tersebut dapat terjaga dengan baik. Sedangkan ketika keadilan adalah kewajiban memberikan peran yang lebih besar kepada negara untuk mewujudkan keadilan bagi rakyatnya, tanpa melihat ada hak yang dimiliki oleh rakyat.

Tinggalkan komentar